
Setiap 1 Mei, jalanan di berbagai kota dipenuhi suara dan langkah. Spanduk-spanduk terbentang tinggi, orasi bergema, dan ribuan pekerja dari berbagai sektor turun ke jalan bukan sekadar untuk unjuk rasa, tapi untuk didengar. Hari Buruh bukan hanya hari libur nasional—ia adalah hari untuk mengenang, menghargai, dan memperjuangkan mereka yang setiap hari membuat dunia tetap berjalan.
Di balik baju seragam, helm proyek, hingga jas kantor, ada manusia. Ada cerita tentang Ayah yang berangkat sebelum matahari terbit dan pulang saat anak-anak sudah tertidur. Ada Ibu yang bekerja ganda, di kantor dan di rumah. Ada mereka yang tidak punya pilihan selain lembur demi selembar upah yang cukup untuk sekadar bertahan hidup.
Tahun 2025 membawa banyak tantangan baru. Dunia kerja terus berubah, digitalisasi merambah, tetapi tak semua buruh mendapat akses yang sama. Masih ada yang digaji tak layak. Masih banyak yang tidak terlindungi secara hukum. Dan masih terlalu sering kita lupa, bahwa di balik produk yang kita pakai, layanan yang kita nikmati, makanan yang kita santap—ada keringat manusia yang bekerja dalam diam.
Namun, Hari Buruh bukan hanya tentang penderitaan. Ini juga tentang dignitas, harga diri. Tentang buruh yang memilih untuk tidak menyerah. Tentang mereka yang tetap berdiri tegak walau hak belum sepenuhnya ditegakkan. Ini hari yang mengingatkan kita bahwa pekerja bukan mesin. Mereka punya harapan, keluarga, dan impian.
Di Hari Buruh 1 Mei 2025 ini, mari berhenti sejenak. Bukan hanya untuk berlibur, tapi untuk mengingat. Bahwa pekerjaan adalah bentuk pengabdian. Bahwa keadilan di dunia kerja bukan hal mewah, tapi hak. Dan bahwa perubahan tak datang dari diam, melainkan dari keberanian untuk bersuara.